Dian menegaskan, bahwa perjanjian eksklusif merupakan perjanjian ilegal dan dengan mudah dinyatakan batal demi hukum menurut Pasal 1335 juncto Pasal 1320 KUH Perdata. "Artinya kalau menurut Pasal 1335 KHUPerdata dinyatakan seolah-olah tidak ada karena dia melanggar klausa atau melanggar undang-undang antimonopoli," imbuhnya.
Ahli Hukum Persaingan Usaha ini meminta KPPU harus secara lebih aktif melaksanakan investigasi sektoral, seperti sektor otomotif. Hal ini sebagai upaya untuk pencegahan adanya potensi praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Data dari investigasi itu akan menjadi bukti-bukti yang disampaikan oleh pelapor. "Dealer atau pengusaha bisa melaporkan kepada KPPU jika merasa perjanjian kerjasamanya ada unsur eksklusivitas dan KPPU harus menindaklanjuti itu," katanya.
Apabila dealer melapor ke KPPU sehingga izin kerjasamanya dicabut oleh pemilik merek, maka itu pun melanggar hukum. UU 5/1999 Pasal 15 dan Pasal 19 Huruf a melarang pelaku usaha melakukan perjanjian vertikal yang sifatnya menutup kebebasan dalam mengambil keputusan bisnis secara wajar kepada pelaku usaha di bawahnya.
"Dengan kata lain tidak boleh membatasi ruang gerak dari pelaku usaha di bawahnya untuk mendirikan usaha lain yang menjual produk yang berbeda,” ujarnya.
"Jangankan UU berlawanan perjanjian kerja sama. UU berlawanan dengan norma-norma kepatuhan bisnis saja sudah dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum," imbuhnya.
Dian menyarankan bagi dealer yang merasa dirugikan oleh adanya perjanjian eksklusivitas tidak perlu takut dengan itu. Hal ini karena syarat sah berlakunya perjanjian adalah tidak boleh bertentangan dengan aturan perundangan. Dalam hal ini adalah UU 5/1999 sebagai undang-undang pedoman utama atau ”umbrella act” dari persaingan usaha yang sehat, terutama di sektor otomotif nasional.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait