OPINI: Oleh Syahrir Rasyid, Pimpinan Redaksi iNewsSerpong
ADA MASA ketika kita percaya bahwa urusan ibadah adalah ruang suci, tak tersentuh permainan kotor. Namun keyakinan itu kembali goyah ketika kabar dugaan korupsi kuota haji muncul ke permukaan.
Bila urusan akhirat saja dipermainkan, apakah ada lini kehidupan yang benar-benar steril dari korupsi di negeri ini?
Saya masih ingat ketika pertama kali mendengar kabar bahwa KPK sedang mengusut kasus kuota haji. Sempat terdiam, seakan bertanya pada diri sendiri: Benarkah telinga saya menangkap berita seperti itu?
Nyatanya, pendengaran saya baik-baik saja. Tak lama kemudian, mantan Menteri Agama, Yahya Cholil Staquf, terlihat memasuki gedung KPK untuk memberikan kesaksian.
Setelah itu, roda penyelidikan tak berhenti. KPK kembali bergerak dengan menyita sejumlah aset milik pihak swasta terkait perkara ini—mulai dari rumah hingga kendaraan, termasuk Mazda CX-3 dan beberapa motor, pada Rabu (19/11/2025). Barang-barang itu diduga bagian dari aliran dana penyimpangan.
Kasus ini bermula dari tambahan 20.000 kuota haji tahun 2023. Aturannya jelas: 92 persen untuk jamaah haji reguler, 8 persen untuk haji khusus. Namun, yang terjadi justru pembagian ganjil—masing-masing 50 persen.
Ketimpangan ini membuat KPK mencium adanya praktik curang. Bantahan keras dari Yaqut Cholil Qoumas—bahwa tuduhan itu keji dan politis—tidak menghentikan langkah penyidik.
Pintu-Pintu Gelap dalam Pengelolaan Haji
Sejujurnya, isu penyimpangan kuota haji bukan barang baru. Pengelolaan haji di bawah Kementerian Agama memang tak pernah sepi dari cerita miring.
Ada terlalu banyak ruang abu-abu yang membuka peluang bagi mereka yang ingin mengambil keuntungan dengan cara yang tidak sah.
Saya teringat satu kisah nyata yang terjadi pada era Menteri Agama Tarmizi Taher. Yayasan Islamic Center (YIC) Al-Markaz Al-Islami, Makassar, mendapat undangan berhaji bagi dua orang pengurus.
Dokumen sudah dikirim dua kali ke Jakarta, tetapi tak kunjung ada kabar. Hingga akhirnya staf Menteri menanyakan kembali kelengkapan berkas—seolah-olah tak pernah dikirim sebelumnya.
Ketika perwakilan YIC datang langsung membawa berkas, barulah terbongkar cerita sesungguhnya. Dokumen-dokumen tersebut memang “ditahan” oleh oknum internal.
Bukan hilang, bukan terselip—tetapi sengaja dihentikan agar masa pendaftarannya lewat. Setelah dinyatakan “batal”, jatah haji itu kemudian diberikan ke pihak lain dengan imbalan uang.
Betapa mudahnya sebuah amanah berubah menjadi alat transaksi.
Karena itu, kasus yang mencuat tahun 2023 sejatinya bukan kejadian tunggal, melainkan repetisi dari persoalan lama yang tak juga dibenahi. Yang berbeda hanyalah skalanya.
Editor : Syahrir Rasyid
Artikel Terkait
