Keshalihan individual seyogyanya seiring dan sejalan dengan keshalihan sosial. Tidak cukup shalih secara individual saja, dan tidak cukup pula hanya shalih secara sosial. Kedua-duanya harus ada pada diri seorang muslim.
Contoh sikap seorang muslim yang shalih secara individual dan sosial sejati adalah tatkala seorang muslim mampu melindungi orang lain dari keburukan yang disebabkan oleh lisan dan tangannya. Sebagaimana sabda Baginda Rasulullah SAW yang artinya: “Muslim itu adalah yang muslim lainnya terjaga dari keburukan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari).
Contoh lainnya adalah dalam kehidupan bertetangga. Keshalihan sosial dijadikan sebagai ukuran keimanan seorang muslim oleh Baginda Rasulullah SAW. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Hakim, Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Seorang muslim tidak beriman jika ia kekenyangan sedangkan tetangganya kelaparan.”
Dalam hadits yang lain, diceritakan bahwa Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman.” Para sahabat bertanya: “Siapa yang tidak beriman ya... Rasulullah?” Beliau menjawab: “Dia yang tidak menjaga tetangganya dari musibah.” (HR. Bukhari).
Kedua hadits di atas menegaskan bahwa keimanan kita bisa menjadi tidak sempurna disebabkan oleh ketidakpedulian kita kepada tetangga. Sungguh sebuah ajaran Islam yang kini makin langka dipraktikkan oleh ummat Islam sendiri, terutama di kota-kota besar.
Terakhir, mari kita renungkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Tirmidzi, dan Ahmad sebagai berikut:
Dikisahkan bahwa Baginda Rasulullah SAW pernah berdiskusi dengan para sahabatnya tentang definisi orang yang merugi atau bangkrut.
“Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?” tanya Baginda Rasulullah SAW.
Para sahabat menjawab orang yang bangkrut adalah mereka yang tidak memiliki dirham maupun dinar. Ada juga yang berpendapat mereka yang rugi dalam perdagangan.
Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang bangkrut dari ummatku ialah mereka yang datang (kepada Allah) pada hari kiamat dengan membawa banyak pahala shalat, zakat, dan haji. Akan tetapi (di dunia) ia telah mencaci orang lain, menyakiti orang lain, memakan harta orang lain (secara bathil), menumpahkan darah, dan memukul orang lain. Ia kemudian diadili dengan cara membagi-bagikan pahalanya kepada orang yang pernah didzaliminya. Sampai jika pahalanya telah habis, sementara masih ada orang yang menuntutnya, maka kesalahan (dosa) orang yang menuntutnya diberikan kepadanya. Akhirnya, ia pun dilemparkan ke dalam neraka.”
Sungguh mengerikan bukan?
Kita bisa menjadi orang yang bangkrut di negeri akhirat pada saat hari kiamat. Pahala yang sudah dikumpulkan dari berbagai ibadah yang dilakukan, bukan digunakan untuk mendapatkan kenikmatan negeri akhirat, justru malah digunakan untuk membayar “denda” akibat dari sikap kita yang tidak mampu menjadi pribadi yang shalih secara sosial.
Inilah dampak dari kegagalan dalam mentransformasi keshalihan individual menjadi keshalihan sosial. Oleh karenanya, mari kita berusaha untuk senantiasa mentransformasi keshalihan individual kita menjadi keshalihan sosial. Mari kita berusaha untuk menjadi pribadi-pribadi yang tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri, namun juga bagi orang lain dan lingkungan sekitar. (*)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Editor : Syahrir Rasyid