Bullying Sebuah Kezaliman, Sekolah Harus Bertindak Tegas
OPINI: Oleh Syahrir Rasyid, Pimpinan Redaksi iNewsSerpong
TRAGEDI ledakan di SMAN 72 Jakarta, Jumat 7 November 2025, mengguncang nurani kita semua. Saat salat Jumat tengah berlangsung, tiba-tiba suara ledakan keras menggema di masjid sekolah, disusul ledakan kedua dengan asap hitam pekat. Dalam sekejap, suasana tenang berubah jadi kepanikan.
Sekolah yang berlokasi di kompleks perumahan Kodamar TNI AL, Kelapa Gading Barat, itu mendadak porak-poranda. Tercatat 54 orang terluka — siswa, guru, dan petugas keamanan. Polisi dan tim penjinak bom bergerak cepat mensterilkan lokasi, mengumpulkan barang bukti, dan menelusuri jejak pelaku.
Hasil penyelidikan sementara cukup mengejutkan. Dari penggeledahan rumah terduga pelaku di kawasan Cilincing, polisi menemukan barang-barang yang memiliki kemiripan dengan bahan yang digunakan dalam ledakan.
Namun satu hal yang masih menjadi tanda tanya besar: apa sebenarnya motif di balik peristiwa ini?
Publik mulai menebak-nebak. Ada yang menduga pelaku hanya ingin bereksperimen, ada pula yang menuding pengaruh media sosial. Namun di kalangan siswa, beredar isu bahwa pelaku sering menjadi korban bullying di sekolah.
Meski belum ada bukti kuat, dugaan ini membuka kembali luka lama tentang wajah pendidikan kita — bahwa bullying masih nyata terjadi di lingkungan sekolah.
Pertanyaan ini sering muncul setiap kali kasus perundungan mencuat. Padahal, sekolah semestinya menjadi tempat yang aman dan menyenangkan.
Dari sisi psikologi, bullying sering muncul karena kebutuhan dominasi dan pencarian identitas di masa remaja. Ada yang merasa lebih kuat, lebih populer, atau sekadar ingin diakui. Sayangnya, cara yang dipilih salah: dengan merendahkan orang lain.
Faktor lain yang tak kalah besar adalah minimnya empati. Anak-anak yang tumbuh tanpa keteladanan empatik cenderung tidak peka terhadap perasaan orang lain. Sebagian lagi datang dari didikan keluarga yang keras atau kurang perhatian, sehingga luka batin di rumah diteruskan ke lingkungan sekolah.
Dan jangan lupakan pengaruh media sosial. Dunia digital kini sarat dengan candaan kasar, body shaming, hingga perundungan terselubung yang dikemas lucu. Remaja yang belum matang secara emosi sering meniru tanpa menyadari dampaknya.
Sayangnya, masih banyak sekolah yang tidak punya sistem penanganan bullying yang tegas dan berpihak pada korban. Ada kasus yang dibiarkan karena dianggap sepele, atau malah ditutupi demi menjaga nama baik sekolah. Padahal, pembiaran justru menumbuhkan generasi yang tidak berempati.
Dalam pandangan Islam, bullying bukan sekadar perilaku tidak sopan — ia adalah bentuk kezaliman (zulm) yang dilarang keras.
Rasulullah SAW bersabda: “Kezaliman itu akan menjadi kegelapan di hari kiamat.” (HR. Bukhari)
Menghina, mengejek, atau mempermalukan orang lain adalah bentuk penindasan kecil yang kelak berbuah besar di hadapan Allah SWT.
Dalam Surah Al-Hujurat ayat 11, Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, boleh jadi mereka (yang diperolok) lebih baik dari mereka.....”
Ayat ini jelas menegaskan: tidak ada ruang bagi ejekan, cercaan, atau panggilan buruk di antara sesama muslim. Siapa pun yang pernah melakukan bullying, segeralah bertobat dan meminta maaf sebelum dosa itu menjadi beban di akhirat.
Mencegah bullying tidak cukup dengan peringatan atau kampanye seremonial. Sekolah harus menciptakan sistem pelaporan yang aman, guru wajib peka terhadap perubahan perilaku siswa, dan orang tua perlu lebih dekat dengan anak-anaknya — bukan hanya dalam hal nilai, tapi juga perasaan.
Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangan. Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisan. Jika tidak mampu juga, maka dengan hati.” (HR. Muslim)
Mencegah bullying termasuk dalam perintah ini. Jika tidak mampu bertindak langsung, minimal jangan diam. Bela yang lemah, tegur yang menindas, dan jadilah bagian dari perubahan.
Mari kita jadikan sekolah tempat yang kembali nyaman dan aman.
Tempat menumbuhkan empati, bukan menebar ketakutan. Tempat menanam kasih, bukan kebencian.
Karena sejatinya, akhlak Nabi Muhammad SAW yang kita agungkan adalah kasih, adil, dan lembut terhadap sesama. Semoga kita dijauhkan dari sifat sombong dan zalim — baik dalam ucapan, tindakan, maupun di dunia maya. (*)

Editor : Syahrir Rasyid