Radikalisme Lahir dari Pemahaman Agama yang Sempit

Penulis : Syahrir Rasyid
Bahaya di depan mata. Sebanyak 110 anak di Indonesia direkrut kelompok teroris melalui media sosial hingg gim online. (Foto/Ilustrasi: Ist)

OPINI: Oleh Syahrir Rasyid, Pimpinan Redaksi iNewsSerpong

KINI, bahaya di depan mata. Sebanyak 110 anak di Indonesia direkrut kelompok teroris melalui media sosial, gim online, dan aplikasi pesan instan—platform yang setiap hari mereka buka tanpa sedikit pun rasa curiga.

Dunia pertemanan fisik bergeser total menjadi hubungan virtual, dan di sanalah ancaman itu menyelinap.

Kabar mencengangkan ini disampaikan Karopenmas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu. Anak-anak yang menjadi korban tersebar di 23 provinsi, menunjukkan pola rekrutmen yang rapi, terstruktur, dan bergerak senyap.

Dalam setahun terakhir, polisi telah menetapkan lima tersangka yang memanfaatkan ruang digital sebagai jalan rekrutmen.

Di mata mereka, anak-anak adalah target empuk: masih labil, sedang mencari identitas diri, dan merasa dunia maya adalah tempat paling nyaman untuk bertumbuh. Lebih parah lagi, mereka mudah percaya pada teman virtual yang seolah-olah peduli.

Di situlah peluang “emas” dilihat oleh para perekrut. Mereka menebar jaring propaganda dengan kemasan narasi heroik, persaudaraan semu, hingga ajakan “berjuang” demi tujuan yang diklaim sebagai perjuangan suci.

Salah satu jalur yang sering dipakai adalah gim online. Sering kali masyarakat salah paham, menyalahkan gim sebagai penyebab radikalisasi. Padahal gim hanyalah pintu masuk.

Yang berbahaya adalah ruang obrolan (voice chat atau chat room) di dalamnya. Di tempat itulah kedekatan emosional dibangun perlahan, sebelum disusupi ideologi.

Cara mereka sangat halus. Kalimat-kalimat pendek disuntikkan, seperti: “Kamu punya potensi besar.” --  “Negara kita sedang dizalimi.” -- “Kita harus berjuang bersama.”

Narasi sederhana nan heroik itu membuat anak-anak merasa menjadi "pahlawan", tanpa menyadari bahwa mereka sedang ditarik masuk ke lingkaran gelap.

Radikalisasi terjadi tanpa suara, tanpa tatapan, tanpa pertemuan. Semuanya berlangsung melalui layar. Ratusan anak yang terpapar bukan sekadar data statistik, melainkan masa depan yang terancam hilang, keluarga yang kehilangan arah, dan generasi yang direnggut dari jalur hidupnya.

Melihat bahaya sebesar ini, mustahil penanganannya sepenuhnya diserahkan kepada aparat keamanan.

Orangtua harus menjadi benteng pertama. Mengawasi aktivitas digital anak, memahami platform dan gim yang digunakan, serta peka pada perubahan sikap bukan lagi pilihan—tetapi keharusan.

Sekolah pun tidak boleh berhenti  dan lelah membangun literasi digital sejak dini. Pemahaman tentang hoaks, propaganda, dan manipulasi ideologis kini sudah seperti “vitamin harian” di era internet terbuka.

Sementara pemerintah wajib memperketat pengawasan platform digital, menindak konten radikal secara tegas dan terukur. Ini bukan soal semata-mata keamanan, tetapi pertaruhan masa depan generasi Indonesia.

Editor : Syahrir Rasyid

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network