Dalam Al-fatawa Al-Hindiyah – kumpulan fatwa madzhab hanafi – dinyatakan,
وَلَا يُؤَدِّي عَنْ الْجَنِينِ ؛ لِأَنَّهُ لَا يَعْرِفُ حَيَاتَهُ هَكَذَا فِي السِّرَاجِ الْوَهَّاجِ
“Tidak wajib ditunaikan zakat fitrah untuk janin, karena belum bisa dipastikan hidupnya. Demikian keterangan dalam buku Siraj Wahhaj.” (Fatawa Hindiyah, 5/166)
Bahkan Ibnul Mundzir
Hal yang sama juga disampaikan oleh Imam Malik. Dalam Al-Mudawwanah beliau menegaskan,
لا تؤدى الزكاة عن الحبل، وإن ولد له يوم الفطر أو ليلة الفطر فعليه فيه الزكاة
“Tidak wajib ditunaikan zakat fitrah untuk bayi yang ada dalam kandungan. Namun jika dia terlahir pada hari idul fitri atau malam hari raya maka ayahnya berkewajiban membayarkan zakat untuk anaknya.” (Al-Mudawanah Al-Kubro, 1/388).
Lebih jauh, An-Nawawi – madzhab Syafii – menegaskan bahwa selama bayi itu belum terlahir sempurna pada saat matahari terbenam di hari puasa terakhir, tidak wajib ditunaikan zakat fitrah untuknya. Dalam Al-Majmu’ beliau mengatakan,
لا تجب فطرة الجنين لاعلي أبيه ولا في ماله بلا خلاف عندنا ولو خرج بعضه قبل غروب الشمس وبعضه بعد غروبها ليلة الفطر لم تجب فطرته لانه في حكم الجنين ما لم يكمل خروجه منفصلا
“Tidak wajib zakat fitrah untuk janin, bukan kewajiban bapaknya, juga tidak perlu diambilkan dari harta si janin, tanpa ada perselisihan dalam madzhab Syafiiyah. Jika sebelum matahari terbenam badan bayi sudah keluar sebagian, sementara sebagian lagi baru keluar setelah matahari terbenam di malam idul fitri, maka tidak wajib dibayarkan zakat fitrahnya. Karena dia masih dihukumi janin, selama belum keluar utuh.” (Al-Majmu’, 6/139).
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta