Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma; Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina; Ketua PCM Pagedangan, Tangerang.
PERNAKAH ANDA mengalami kegagalan?
Bisa jadi kita semua pernah mengalami kegagalan. Padahal, kita telah mempersiapkan diri, berusaha dengan sekuat tenaga, bahkan berdo’a pun tidak ketinggalan. Namun, di akhirnya tetap saja gagal.
Demikianlah ketetapan Allah yang akan berlaku terhadap seluruh makhluk-Nya. Siapa pun itu, jika Allah telah menetapkan gagal, maka pasti gagallah dia. Sebaliknya, siapa pun itu, jika Allah telah menetapkan berhasil, maka pasti berhasillah dia.
Allah Al-Muqtadir. Allah adalah dzat yang Maha Berkuasa dan Maha Menentukan, yakni Allah berkuasa dan berhak menentukan apa pun atas makhluk-Nya. Itulah Al-Muqtadir, salah satu asmaul husna, tepatnya nomor ke-70 dari 99 asmaul husna (nama-nama Allah yang baik).
Secara bahasa, Al-Muqtadir berasal dari kata qadara yang artinya kuasa, mampu, dan menentukan. Al-Muqtadir memiliki makna yang kuat dan mendalam. Al-Muqtadir bermakna bahwa Allah bukan sekedar berkuasa, namun juga berhak menentukan segalanya.
Dalam konteks Al-Muqtadir, Allah Ta’ala memiliki kemampuan dan kekuasaan penuh terhadap segala sesuatu. Dengan kata lain, Allah memiliki hak prerogatif yang tidak bisa diintervensi oleh siapa pun dalam bertindak sesuai dengan kehendak-Nya.
Oleh karena itu, segala sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah memiliki sifat mutlak dan tidak ada satu pun yang mampu mengubahnya. Namun demikian, jika Allah berkehendak, maka ketentuan atas makhluk-Nya dapat saja diubah oleh Allah sendiri, sesuai dengan kehendak-Nya.
Mari kita perhatikan firman Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an yang artinya: “Atau, benar-benar Kami perlihatkan kepadamu (azab) yang telah Kami ancamkan kepada mereka. Sesungguhnya Kami Maha Berkuasa atas mereka.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 42).
Pada akhir ayat di atas, Allah menggunakan kata “Muqtadirun” yang bermakna bahwa Allah Maha Berkuasa yang dengan kekuasaan-Nya itu, Allah berhak menentukan apa pun terhadap makhluk-Nya termasuk dalam hal menentukan kapan azab diturunkan.
Pada ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Mereka mendustakan mukjizat-mukjizat Kami semuanya, maka Kami azab mereka dengan azab dari yang Maha Perkasa, Maha Kuasa.” (QS. Al-Qamar [54]: 42).
Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto : Dok Pribadi)
Senada dengan ayat sebelumnya (QS. Az-Zukhruf [43]: 42), pada QS. Al-Qamar [54]: 42, Allah juga menegaskan bahwa Allah lah yang berkuasa penuh dalam menetapkan azab kepada manusia yang mendustakan mukjizat-mukjizat yang telah Allah turunkan.
Oleh karena itu, sebagai manusia yang beriman maka kita harus menyadari bahwa dalam hidup dan kehidupan yang kita jalani, akan terdapat berbagai macam peristiwa sebagai ketetapan dari Allah Ta’ala untuk dijalani oleh kita makhluk-Nya.
Tugas kita sebagai manusia adalah berikhtiar dengan segala potensi yang kita miliki, berusaha dan berdo’a kepada Allah, kemudian menyerahkan hasil akhirnya kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.” (QS. Ali Imran [3]: 159).
Berdasarkan ayat ini, tawakal adalah sebuah sikap mental dan spiritual yang mengekspresikan keyakinan sepenuhnya bahwa Allah Ta’ala adalah Sang Pemilik dan Pengatur segala sesuatu di jagat raya ini.
Namun demikian bukan berarti bahwa manusia itu seolah memiliki peran seperti halnya wayang yang diatur oleh dalang dan tidak memiliki kehendak atau keinginan apa pun.
Manusia adalah makhluk Allah yang diciptakan dengan segala potensi yang dimilikinya, sehingga kita pasti memiliki keinginan, harapan, atau cita-cita baik untuk kehidupan di dunia ini maupun nanti di akhirat.
Oleh karenanya, Allah Ta’ala memberikan kesempatan kepada manusia untuk mewujudkan kehendaknya melalui berbagai usaha atau ikhtiar yang dapat dilakukannya. Selain ikhtiar, manusia juga diberikan kesempatan untuk memohon kepada Allah dengan cara berdo’a kepada-Nya.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya, bahwa sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian dia akan diberi balasan atas (amalnya) itu dengan balasan yang paling sempurna, bahwa sesungguhnya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu).” (QS. An-Najm [53]: 39-42).
Allah memberikan kesempatan kepada manusia untuk mewujudkan kehendaknya melalui berbagai usaha atau ikhtiar yang dapat dilakukannya. (Foto: Ist)
Pada Surat Al-Mukmin ayat 60, Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya: Tuhanmu berfirman, “berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu (apa yang kamu harapkan). Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk (neraka) Jahanam dalam keadaan hina dina.”
Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah sudah bahwa tugas manusia adalah berikhtiar dan berdo’a dengan sebaik-baiknya, selanjutnya kita serahkan kepada Allah terkait dengan hasil akhir yang terbaik menurut ketetapan Allah untuk kita.
Sekali lagi, tugas manusia adalah berikhtiar dan berdo’a untuk mendapatkan keadaan yang lebih baik. Sebagaimana diingatkan oleh Allah dalam firman-Nya yang artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka. Apabila Allah menghendaki keburukan kepada suatu kaum, tidak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 11).
Sejatinya, tidak ada satu pun ketetapan yang Allah berikan sebagai ketetapan yang buruk untuk manusia. Seluruh ketetapan dari Allah adalah ketetapan yang terbaik, namun terkadang kita sebagai manusia biasa, belum dapat langsung menerima ketetapan itu jika tidak sesuai dengan harapan kita.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Diwajibkan atasmu berperang, padahal itu kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216).
Terakhir, sebagai orang yang beriman, kita harus yakin bahwa ketetapan apa pun yang Allah berikan kepada kita, termasuk beban dalam kehidupan yang kita jalani, pasti akan mampu kita lewati.
Allah Ta’ala memberikan garansi kepada kita melalui firman-Nya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 286). (*)
Tugas manusia adalah berikhtiar dan berdo’a dengan sebaik-baiknya, selanjutnya kita serahkan kepada Allah. (Foto: Ist)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Editor : Syahrir Rasyid