HIKMAH JUMAT : Risiko Menunda Kebaikan
Penulis: Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma; Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina; Ketua PCM Pagedangan, Tangerang
SALAH SATU kebiasaan buruk dari sebagian besar kita adalah senang menunda-nunda untuk melakukan kebaikan. Mungkin karena sedang posisi wenak alias PW, sibuk rebahan, asyik main kartu, seru main catur, atau gara-gara nonton bola, akhirnya kebaikan pun ditunda pelaksanaannya.
Tak sedikit alasan yang dapat diberikan ketika ditanya mengapa sebuah kebaikan ditunda untuk dilaksanakan. Padahal, saat itu kondisi kita sedang sehat, bahkan waktu pun sempat. Namun, kebaikan itu dilaksanakan di penghujung waktu dengan terburu-buru, atau bahkan tidak dilaksanakan.
Tertipulah kita dengan nikmat sehat dan sempat yang telah Allah berikan. Benarlah apa yang disabdakan oleh Baginda Rasulullah SAW yang artinya: “Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu dengannya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari).
Menunda adalah sebuah keputusan yang mengandung banyak risiko. Bisa jadi karena kita menunda untuk melaksanakan amal shalih, gagallah kita untuk mendapatkan rahmat dan kasih sayang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ada sebuah kisah yang layak untuk kita ambil pelajaran. Kisah ini terjadi di awal masa Baginda Rasulullah SAW berdakwah menyebarkan agama Islam di Mekkah. Adalah Maimun bin Qais Al-A’sya, seorang penyair legendaris dari Yamamah (sekarang Riyadh) yang sangat terkenal pada masa itu.
Kepiawaiannya dalam membuat syair membuat karyanya mendapatkan penghargaan tertinggi dari penduduk Mekkah masa itu. Saking bagusnya syair-syair yang dibuat oleh Maimun bin Qais Al-A’sya, maka karya-karyanya itu pun banyak yang digantung di Ka’bah.
Namun, ketika dia mendengar keindahan Al-Qur’an, luluhlah hati Al-A’sya. Dia merasa bahwa kehebatannya dan kepiawaiannya selama ini dalam membuat syair yang indah, tak ada apa-apanya dibandingkan dengan keindahan ayat-ayat Al-Qur’an.
Semakin sering dia mendengar lantunan ayat suci Al-Qur’an, maka semakin kuatlah niat Al-A’sya untuk memeluk agama Islam. Tanpa ragu-ragu, dia pun menyampaikan niatnya ini kepada para pembesar kaum musyrik dan kafir di Mekkah.
Keterbukaan Al-A’sya ini, membuat para pemuka kaum musyrik dan kafir Mekkah menjadi resah. Mereka khawatir keputusan Al-A’sya memeluk agama Islam akan diikuti oleh para penggemarnya yang selama ini mengagumi syair-syair karya Al-A’sya.

Editor : Syahrir Rasyid